Pemikiran dan Aliran Filsafat dalam Membangun Ideologi Bangsa Indonesia

PEMIKIRAN DAN ALIRAN FILSAFAT DALAM MEMBANGUN IDEOLOGI BANGSA INDONESIA
(Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu)
Oleh:
Syahrial (16701251015)
Prodi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan – S2 / Kelas B 2016
Universitas Negeri Yogyakarta


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Berikut ini saya sampaikan hasil refleksi dari filsafat ilmu yang di sampaikan oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A. dalam matakuliah filsaft ilmu yang di laksanakan pada tanggal 09 November 2016, dari jam 11.10 – 12.50 WIB diruang 200B gedung lama Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Prodi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan – S2 / Kelas B 2016.
Berikut adalah hasil refleksi dari materi yang telah di sampaikan oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A.

Filsafat itu tentang olah pikir, sedangkan objeknya itu yang ada dan yang mungkin ada, objek itu bisa ada didalam pikiran dan di luar pikiran.

Yang didalam pikiran itu memiliki beberapa sifat, diantaranya bisa bersifat tetap, tokohnya yaitu Permenides, menurut Permenides tiadalah sesuatu itu berubah karena semuanya itu bersifat tetap. Dan yang tetap itu bersifat ideal, maka lahirlah aliran idealisme tokohnya adalah Plato. Lalu muncul juga aliran Absolutisme. Objek yang didalam pikiran itu lebih bersifat abstrak, dan lebih menekankan rasio (rasionalisme), tokohnya Rane Descartes. Lalu muncul kembali aliran Monoisme (tunggal), lalu muncul lagi spiritualisme. Karena bersifat tunggal maka juga bersifat identitas dan identitas itu bersifat A = A. Maka segala yang didalam pikiran itu bisa juga di sebut bersifat urusan akhirat, karena urusannya bersifat akhirat maka bersifat konsisten (koheren), contohnya yang sederhana ilmu murni atau ilmu aksiomatis.

Sedangkan yang diluar pikiran juga memiliki beberapa sifat, diantaranya yaitu bersifat berubah, tokohnya yaitu Heraclitos (Heraclitosianisme), menurut Heraclitos semuanya berubah tanpa terkecuali. Dan yang berubah itu bersifat real, maka muncullah filsafat realisme tokohnya yaitu Aristoteles. Lalu muncul juga aliran pluralisme. Dan objek yang diluar pikiran itu lebih bersifat nyata, dan lebih mengandalkan pengalaman (empirisisme) tokohnya yaitu David Hume. Karena yang diluar pikiran itu bersifat pluralisme maka juga berlaku hukum kontradiksi dimana A ≠ A. Maka segala yang diluar pikiran itu bisa juga di sebut bersifat urusan dunia, karena urusannya bersifat dunia maka bersifat sintetik, dan kebenarannya bersifat cocok (korespondensi).
Jadi antara dunia dan akhirat ada pikiran dan hati.

Dunia kenyataan itu terikat oleh ruang dan waktu karena bersifat berubah, sedangkan dunia yang ada dalam pikiran tidak terikat oleh ruang dan waktu karena bersifat tetap. Sehingga karena filsafat itu tergantung objeknya dan alirannya maka akhirnya terjadi kristalisasi selama berabad-abad, sehingga sempat muncul abad gelap. Abad gelap itu dimana pikiran didominasi oleh gereja, pikiran itu kebenaran, maka tiada seorangpun yang berhak mengklaim kebenaran kecuali atas restu gereja. Siapapun yang melanggar dianggap sebagai penghianat lalu akan di hukum, dan ini merupakan bagian dari sejarah. Lalu pada akhirnya gereja mengatakan bahwa alamsemesta ini pusatnya adalah bumi, namun secara diam-diam Copernicus menyelidiki dan secara diam-diam pula ia membuat buku dan menyimpannya, dan buku tersebut dibaca oleh muridnya setelah dia meninggal, salah satu muridnya yaitu Galileo Galilei, yang kemudian disebut dengan istilah revolusi Copernicus, dan menurut Copernicus alamsemesta ini pusatnya bukanlah bumi seperti yang dikatakan oleh gereja, melainkan mataharilah sebagai pusatnya, jadi jika bumi geosentris maka matahari heliosentris, bergeser dari geometris menjadi heliosentris. Pada saat itu gereja sangat marah dan menghukum murid Copernicus yang mengembangkan pemikiran Copernicus yang tertuang dalam bukunya.dan sampai pada akhirnya gereja mengaku salah atas keputusannya tersebut.

Revolusi Copernicus inilah yang disebut sebagai awal abad modern/abad terang, semenjak mulai abad terang muncullah dua kubu yaitu David Hume (empirisisme) dengan Rane Descartes (rasionalisme).

Descartes mengatakan bahwa tiadalah ilmu tanpa rasio, dan D.Hume mengatakan bahwa tiadalah ilmu tanpa tiada pengalaman, dan keduanya saling berkonfrontasi, sehingga pada abad ke 17 yaitu tepatnya 1671 M lahirlah Immanuel Kant, dan dia mendamaikan antara empiris dan rasional. Lalu pada pengalaman (empiris) Immanuel kant melihat ada sintetik a posteriori, a posteriori itu artinya paham setelah melihat, dipersepsi, atau mendengar. Manusia memiliki pikiran, lalu pada rasional Immanuel Kant melihat bersifat analitik dan a priori, analitik itu artinya konsisten, koheren, logis. A priori itu artinya paham sebelum di persepsi, cukup pakai logika.

Lalu Immanuel kant melihat unsurnya, yaitu unsur daripada empiris adalah sintetik a posteriori dan unsur dari rasionalisme adalah analitik a priori, maka Immanuel Kant ambil sintetiknya dan ambil a priorinya, jadi menurut Immanuel Kant sebenar-benar ilmu adalah sintetik a priori. Maka sebenar-benar ilmu adalah prinsip (teori) yang dapat diwujudkan dalam kenyataan (praktek), dan kenyataan (praktek) yang dapat dirumuskan prinsipnya (teori).

Semua yang nyata didunia ini merupakan gambaran banyangn dari pikiran kita. Jadi semua yang ada itu hanya karena pikiran kita, maka Immanuel Kant mengatakan jika engkau ingin melihat dunia maka tengoklah kedalam pikiranmu sendiri, karena dunia itu persis seperti apa yang engkau pikirkan, naik ke spiritual persis seperti apa yang engkau rasakan, naik ke akidah persis seperti apa yang engkau do’akan, dan di psikologi persis seperti apa yang engkau senyumkan, maka jika engkau senyum kepada dunia, maka dunia juga akan tersenyum kepada dirimu. Maka baik buruk adalah bayangan daripada hatimu, karena sebenar-benar filsafat adalah dirimu sendiri.

Lalu setelah itu pada tahun 1857 M wafatlah seorang yang bernama Aguste Comte. Comte mengarang buku yang diberi judul positivisme, menurut Comte agama itu tidak logis, jadi agama itu tidak bisa dipakai sebagai dasar membangun dunia, sehingga agama diletakkan paling bawah, lalu naik satu tingkat yaitu filsafat dan yang paling atas dendiri adalah positif (saintifik). Sehingga Kurikulm 2013 yang saat ini di Indonesia sejatinya merupakan pemikiran Comte, maka dari itu masih terdapat ketidak cocokan bila di terapkan di Indonesia.



Sementara di Indonesia dan negara-negara timur berusaha membangun struktur yang dimulai dari material yang paling bawah, lalu naik ke formal, naik lagi menjadi normatif, dan yang paling atas adalah spiritual.


Sementra itu Indonesia tanpa sadar bahwa positivisme Comte telah mnjelma menjadi makhluk yang disebut sebagai penguasa dunia (powernow). Dan pada tingkatan ini ia membangun struktur yang dimulai dari archaic.

Archaic (manusia batu) yaitu berada dalam dirikita masing-masing, lalu naik lagi ke tribal yaitu dirikita sendiri juga yang bersifat tribal yaitu hidup hanya mementingkan golong sendiri saja, diri sendiri saja tidak mau share kepada yang lain. Lalu naik lagi ke tradisional, lalu naiklagi ke feudal, modern dan pos modern, dan yang paling atas adalah powernow. Dan letak agama itu berada di antara tradisional, tribal dan archaic. Maka karena sudah seperti itu dan dia (powernow) sudah menguasai dunia, maka setiap hari, setiap pagi, siang sore, malam di gempur habis-habisan dengan istilahnya “cupumanik astagina merek samsung” (HP maupun teknologi terbaru), tanpa kita sadari kita sudah terpengaruh dan berubah, maka secara tanpa sadar kita telah mengalami yang namanya fenomena Comte, karena dngan teknologi tersebut yang baru kita miliki maka spiritual kita terancam dan tertinggal oleh keasyikan bermain dengan alat yang di ciptakan si powernow tadi, dan itu semua dibungkus dengan begitu indah yaitu dengan pilar kapitalisme, pragmatisme, materialiasme, ultimitarianisme, hedonisme dan liberaalisme.

Jadi, ibarat lautan itu kita semua ini seperti ikan kecil yang berenang dilembah dan limbahnya kehidupan powernow. Dan Indonesia pada saat ini sedang mengalami yang namanya disorientasi, dan disorientasi itu identik dengan ‘munafik’, contohnya ketika belajar filsafat lalu menghujat Aguste Comte, sedangkan ketika beli HP baru dirimu melupakan segala aktifitas spiritualmu, maka sesuangguhnya sudah terkena fenomena Comte, maka tidak pantas apabila kita menunjuk orang, karena satu ke orang sedangkan yang empat jarilagi menunjuk ke dirimu sendiri. Maka Aguste Comte itu benar dalam keadaan tertentu dan salah dalam keadaan tertentu sesuai dengan ruang dan waktunya.

Kembali kepada permasalahan diatas dan keterkaitan dengan ideologi bangsa Indonesia maka kitalah yang memilih sesuai dengan hakekat bangsa Indonesia, terserahkita mau plural atau tunggal, kalau tunggal seperti jepang, singapura dst, homogen dan tidak ada masalah. Tetapi jika plural seperti keadaan Indonesia saat ini, contohnya Aceh serambi mekah dan ambon gereja, maka jika hendak membuat negara satu maka dasarnya adalah KeTuhanan Yanag Maha Esa, dan itu adlah solusi yang sangat cerdas yaitu yang tertuang dalam Pancasila, maka ideologi bangsa indonesia yang berlandarkan kepada Pancasila adalah sudah benar dan cocok sebagai landasan bangsa Indonesia. Namun terkadang kita lupa akan hal itu.

Demikianlah refleksi yang dapat saya sampaikan, semoga refleksi ini menjadi pelajaran bagi diri saya dan siapa saja yang membacanya dan membuat kita menjadi lebih baik lagi. Aamiin.
Alhamdulillahirobbil‘alaminn...


0 Response to "Pemikiran dan Aliran Filsafat dalam Membangun Ideologi Bangsa Indonesia"

Posting Komentar