Perjalanan Filsafat dari Masa Yunani Kuno
hingga Masa Modern
Filsafat Yunani bertumbuh atas dasar pemikiran mitis dan arkais menuju ke suatu refleksi sistematis mengenai susunan dalam (logos) segala sesuatu yang terjadi. Perkembangan ini kita saksikan pada abad ke-6 dan ke-5 sebelum masehi di daerah Ionia dan Yunani Raya (Sisilia dan Italia Selatan). Perkembangan filsafat Yunani ini membentuk suatu pemikiran yang sangat terkenal sepanjang sejarah berkembangnya filsafat. Terbagi menjadi dua buah aliran, yaitu filsafat tesis (tetap) dan filsafat antitesis (berubah).
Tokoh aliran tesis yang berpengaruh antara lain Parmenides. Merupakan filsuf yang terkenal dengan ‘Jalan Kebenaran’nya. Inti utama dari Jalan Kebenaran adalah keyakinan bahwa “hanya ‘yang ada’ itu ada”. Parmenides tidak mendefinikan apa yang dimaksud dengan “yang ada”, namun ia menyebutkan sifat – sifatnya. Menurut Parmenides, “yang ada” memiliki sifat meliputi segala sesuatu, tidak berubah, dan tidak menghancurkan. Di samping itu, “yang ada” juga tidak tergoyahkan serta sulit untuk disangkal. Pemikiran Parmenides ini telah membuka babak baru dalam sejarah filsafat Yunani. Banyak yang mengatakan Parmenides adalah penemu metafisika, suatu cabang filsafat yang menyelidiki “yang ada”. Kemudian filsafat pada masa selanjutnya, membahas tentang masalah –masalah yang pernah dikemukakan oleh Parmenides, yakni bagaimana suatu pemikiran yang dicocokkan dengan data-data inderawi. Munculah tokoh tokoh seperti Plato dan Aristoteles yang merupakan filsuf-filsuf yang memberikan pemecahan untuk masalah masalah tersebut.
Di sisi lain, terdapat filsafat dengan aliran antitesis, atau dengan kata lain, merupakan penganut perubahan. Tokoh yang terkenal adalah Herakleitos. Ia memiliki pemikiran tentang daya Ilahi di dalam alam raya. Pemikiran Herakleitos yang paling terkenal adalah mengenai perubahan-perubahan di alam semesta.Menurut Herakleitos, tidak ada satu pun hal di alam semesta yang bersifat tetap atau permanen. Tidak ada sesuatu yang betul-betul ada, semuanya berada di dalam proses menjadi. Menurut Herakleitos, tiap benda terdiri dari yang berlawanan. Meskipun demikian, di dalam perlawanan tetap terdapat kesatuan. Kita tidak akan bisa mengenal apa itu 'siang' tanpa kita mengetahui apa itu 'malam'. Kita tidak akan mengetahui apa itu 'kehidupan' tanpa adanya realitas 'kematian'. Kesehatan juga dihargai karena ada penyakit. Demikianlah dari hubungan pertentangan seperti ini, segala sesuatu terjadi dan tersusun. Herakleitos menegaskan prinsip ini di dalam kalimat yang terkenal: "Perang adalah bapak segala sesuatu. Perang yang dimaksud di sini adalah pertentangan. Melalui ajaran tentang hal-hal yang bertentangan tetapi disatukan oleh logos, Herakleitos disebut sebagai filsuf dialektis yang pertama di dalam sejarah filsafat.
Namun ditengah banyaknya yang menganut aliran antitesis, munculah Socrates yang membelot dari aliran ini. Socrates melawan arus dengan menjadikan refleksi diri, dan pribadi menjadi suatu titik pangkal untuk mencapai suatu norma-norma abadi. Socrates juga memiliki pengikut yang banyak. Salah satu pengikiut / muridnya yang terkenal adalah Plato. Yang juga merupakan penganut dari Parmenides. Plato memiliki suatu teori tentang idea-idea yang melukiskan antara kenyataan rohani yang tidak dapat dimusnahkan dan kehidupan di dunia ini yang dialami secara inderawi. Plato terkenal dengan pandangannya mengenai ide, yang juga disebut memiliki paham idealis. Tentunya pandangan Plato sangat dipengaruhi oleh gurunya, Socrates. Ide yang dimaksudkan olehnya bukan seperti ide yang dimaknai oleh orang modern. Plato memberikan suatu pemikiran, bahwa ide tidak tergantung pada pemikiran manusia, melainkan pemikiran manusia yang bergantung kepada ide. Suatu ide ialah citra pokok dari suatu kenyataan, nonmateri, abadi, dan tidak berubah.
Kemudian di aliran lain, muncul seorang filsuf yang merupakan murid dari Plato. Ia adalah Aristoteles, seorang murid yang berlawanan arah pemikiran dengan gurunya. Pada zaman Yunani Kuno filsafat dan ilmu merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan. Keduanya termasuk dalam pengertian episteme yang sepadan dengan kata philosophia. Pemikiran tentang episteme ini oleh Aristoteles diartikan sebagai an organized body of rational konwledge with its proper object. Jadi filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan yang rasional. Dalam pemikiran Aritoteles selanjutnya pengetahuan rasional itu dapat dibedakan menjadi tiga bagian yang disebutnya dengan praktike (pengetahuan praktis), poietike (pengetahuan produktif), dan theoretike (pengetahuan teoritis). Pemikiran dan pandangan Aritoteles seperti tersebut di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa nampaknya ilmu pengetahuan pada masa itu harus didasarkan pada pengertian dan akibatnya hanya dapat dilaksanakan bagi aspek-aspek realitas yang terjangkau pikiran. Lalu masuk akal saja kalau orang berpendapat bahwa kegiatan ilmiah tidak lain daripada menyusun dan mengaitkan pengertian-pengertian itu secara logis, yang akhirnya menimbulkan kesana bahwa setiap ilmu pengetahuan mengikuti metode yang hampir sama yaitu mencari pengertian tentang prima principia, lalu mengadakan deduksi- deduksi logis.Pemikirannya hal tersebut oleh generasi-generasi selanjutnya memandang bahwa Aristoteleslah seb
agai peletak dasar filsafat ilmu. Selama ribuan tahun sampai dengan akhir abad pertengahan filsafat logika Aristoteles diterima di Eropa sebagai otoritas yang besar. Para pemikir waktu itu mengaggap bahwa pemikiran deduktif (logika formal atau sillogistik) dan wahyu sebagai sumber pengetahuan.
Aristoteles adalah peletak dasar ‘doktrin sillogisme’ yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemimiran di Eropa sampai dengan munculnya Era Renaisance. Sillogisme adalah argumentasi dan cara penalaran yang terdiri dari tiga buah pernyataan, yaitu sebagai premis mayor, premis minor dan konklusi.
Pada aliran Tesis, setelah masa Plato, juga terdapat seorang filsuf sekaligus matematikawan yang sangat terkenal hingga sekarang, dia adalah Rene Descartes. Descartes memiliki misi filsafat, yaitu berusaha memperoleh pengetahuan yang tidak dapat diragukan. Metodenya adalah ia meragukan semua pengetahuan yang ada. Dari keraguan tersebut, Descrates hendak mencari pengetahuan apa yang tidak dapat diragukan. Yang akhirnya mengantarkan pada premisnya Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada). Baginya eksistensi pikiran manusia adalah sesuatu yang absolut dan tidak dapat diragukan. Sebab meskipun pemikirannya tentang sesuatu salah, pikirannya tertipu oleh suatu matriks, ia ragu akan segalanya, tidak dapat diragukan lagi bahwa pikiran itu sendiri ada.Pikiran sendiri bagi Descrates ialah suatu benda berpikir yang bersifat mental ( res cogitans ) bukan bersifat fisik atau material, yang kemudian Descartes membuktikan filsafat bahwa Tuhan itu ada. Bagi Descrates, realitas terdiri dari tiga hal. Yakni benda material yang terbatas (objek-objek fisik seperti meja, kursi, tubuh manusia,dsb), benda mental-non material yang terbatas (pikiran dan jiwa manusia), serta benda mental yang tak terbatas (Tuhan).Ia juga membedakan antara pikiran manusia dan tubuh fisik manusia. Pembagian ini juga mengantarkannya pada pembagian keilmuan. Realitas material sebagai ranah bagi keilmuan baru yang di bawa Galileo dan Copernicus, realitas mental bagi keilmuan dalam bidang agama, etika, dan sejenisnya.
Aliran empirisme dibangun pada abad ke-17 yang muncul setelah lahirnya aliran rasionalisme. Bahkan aliran empirisme bertolak belakang dengan aliran rasionalisme. Menurut paham empirisme bahwa pegetahuan bukan hanya didasarkan pada rasio belaka, di inggris. Berlawanan dengan metoda Descrates yang rasional, Blaise Pascal yang lebih berhaluan eksistensial, menjunjung tinggi pengetahuan hati. Rasionalisme dan mistik bersatu padu: lewat intuisi manusia melihat zat ketuhanan sebagai satu-satunya substansi yang terpancar dalam segala sesuatu dan ia menjadi sadar, bahwa pengetahuan itu merupakan bagian dari cinta kasih ilahi. Aspek rasionalistis sangat menonjol dalam karya Leibniz, roh (berpikir) dan materi (keluasaan) bersatu karena materi merupakan cara penampakan indrawi dan ruwet mengenai kenyataan rohani yang bersifat dinamis. Pengetahuan indrawi merupakan satu bentuk keruh dari pengetahuan akal budi. Ahli pikir Inggris lebih bersifat nominalis dan empiris.Dan filsuf berlawanan dari Descartes yang popular adalah David Hume. Ia dikenal sebagai penganut empiris yang paling radikal diantara teman – teman sealirannya. Dalam faham positivisnya ia menyangsikan segala pengetahuan akal budi, diantaranya: kausalitas. David Hume terkenal dengan teori berpikir Synthetic Aposterior. Yang merupakan kebalikan dari teori Descartes, yaitu Analytic Apriori.
Selain David Hume, terdapat pula seorang filsuf yang membawa perkembangan besar dalam ranah filsafat, yaitu Immanuel Kant. Pemikiran empiris Hume ini menggelisahkan Immanuel Kant. Bagi Kant empirisme benar. Namun rasionalisme tidak dapat serta merta dibuang. Karenanya, Kant berupa membuat sintesa atas perang dua aliran filsafat ini. Kant menunjukkan bahwa pegetahuan adalah hasil perpaduan antara pengalaman inderawi dan kemampuan pikiran. Pengalaman inderawi adalah unsur a-posteriori yaitu segala sesuatu yang ada kemudian. Sementara akal budi merupakan unsur a-priori yang datang sebelum adanya pengalaman inderawi. Pada akhirnya, pengetahuan adalah sintesa antara kedua unsur ini. Bagi Immanuel Kant, pengetahuan tidaklah berasal dari metafisika. Pengetahuan harus digali dari bawah, untuk menciptakan ruang bagi iman. Periode Kant menutup zaman filsafat renaissance .
Aliran filsafat yang lain adalah Positivisme. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.
Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.
Kemudian zaman Kontemporer dimulai pada abad ke 20 hingga sekarang. Filsafat Barat kontemporer memiliki sifat yang sangat heterogen. Hal ini disebabkan karena profesionalisme yang semakin besar. Sebagian besar filsuf adalah spesialis di bidang khusus, seperti matematika, fisika, sosiologi, dan ekonomi. Akan tetapi bidang fisika menempati kedudukan paling tinggi dan paling banyak dibicarakan oleh para filsuf. Menurut Trout, fisika dipandang sebagai dasar ilmu pengetahuan yang subjek materinya mengandung unsur-unsur fundamental yang membentuk alam semesta.
Aliran-aliran terpenting yang berkembang dan berpengaruh pada abad 20 adalah pragmatisme, vitalisme, fenomenologi, eksistensialisme, filsafat analitis, strukturalisme, postmodernisme, dan semiotika.
0 Response to "Perjalanan Filsafat dari Masa Yunani Kuno hingga Masa Modern "
Posting Komentar